Sejarah Islam pada Fase sebelum dan sesudah Kemerdekaan
1.
Fase Sebelum Kemerdekaan
1) Birokrasi
Keagamaan
Oleh
karena penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para pedagang,
pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan-pelabuhan penting di
Sumatera, Jawa dan pulau lainnya. Keajaan-kerajaan Islam yang pertama berdiri juga di daerah pesisir.
Demikian juga kerajaan Samudera
Pasai, Aceh, Demak,Banten dan Cirebon, Ternate, dan Tidore. Dari sana
kemudian, Islam menyebar ke daerah-daerah sekitar. Begitu pula yang terjadi di
Sulawesi dan Kalimantan. Menjelang akhir abad ke-17, pengaruh Islam sudah
hampir merata di berbagai wilayah penting di Nusantara.
Disamping
merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, ibu kota kerajaan juga merupakan
tempat berkumpul para ulama dan mubalig Islam. Ibn Batuthah menceritakan,
sultan kerajaan Samudera Pasai, Sultan Al-Malik Al-Zahir, dikelilingi oleh
ulama dan mubalig Islam, dan raja sendiri sangatt menggemari diskusi mengenai
masalah-masalah keagamaan.[1]
Kedudukan
ulama sebagai penasehat raja, terutama dalam keagamaan juga terdapat di
kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Para
ulama juga duduk dalam jabatan-jabatan keagamaan yang tingkat dan namanya
berbeda-berbeda, antara satu daerah dengan daerah lainnya, pada umumnya disebut
qadhli, meski dengan sialek yang
berbeda. Tetapi, penerapan hokum Islam di satu kerajaan lebuh jelas
dibandingkan dengan kerajaan lain. Yang terkuat di antaranya adalah Aceh dan
Banten.[2]
2) Ulama
dan ilmu-ilmu keagamaan
Penyebarab
dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terutama terletak dipundak para
ulama. Paling tidak ada dua cara yang dilakukannya. Pertama, membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai
muballig ke daerah-daerah yang lebih luas. Kedua,
melalui karya-karya yang tersebar diberbagai tempat yang jauh.[3]
Karya-karya tersebut mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu
keagamaan di Indonesia pada masa itu.
3) Arsitek
Bangunan
Oleh
karena perbedaan latar belakang budaya, arsitektur bangunan islam di Indonesia berbeda
dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Hasil-hasil seni bangunan pada
zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid-masjid
kuno Demak, Sendang Duwur Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, dan daerah-daerah
lain.
2.
Fase Kemerdekaan
Terdapat
asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini
sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini.
Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini,
tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.
Bertolak
dari asumsi itu, kita perlu memahami kehidupan umat Islam Indonesia pada pasca
kemerdekaan yang akan menentukan sebagian wajah lehidupan umat Islam Indonesia
pada masa-masa selanjutnya. Dalam hal ini tidak berlebihan jika Harry J. Benda
menyatakan bahwa sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban
santru dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, social dan politik di
Indonesia.[4]
Islam
di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk
merumuskan bangsa Indonesia menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan
budaya, islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara
riil (nyata) di negeri ini.[5]
Seperti
halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam
sebagai kekuatan ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun
sebagai kekuatan politik perlu dibatasi.[6]
Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah diberi tempat
tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia
politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui hanya sebatas
sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.
Perkembangan
selanjutnya pada masa Orde Lama, Islam telah diberi tempat tertentuu dalam
konfigurasi yang oaradoks terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa
Orde Baru tampaknya Islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi
pembangunan bangsa dan Negara.
Ajaran
islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan
pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik,
tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organisasi. Seperti :
- Budi Utomo (1908) –
Taman Siswa (1922)
- Sarikat Islam (1911)
– Nahdhatul Ulama (1926)
- Muhammadiyah (1912) –
Partai Nasional Indonesia (1927)
- Partai Komunis
Indonesia (1914)
Menurut
Deliar Noer, selain yang tersebut diatas masih ada organisasi islam lainnya
yang berdiri pada masa itu, diantaranya:
- Jamiat Khair (1905)
- Persyarikatan Ulama (
1911)
- Persatuan Islam
(1920)
- Partai Arab Indonesia
(1934)
Organisasi
perbaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah
yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh
K.H Hasyim Asy’ari.
Untuk
mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan
Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam
yang baru yang disebut Majelis Islam Ala Indonesia ( Majelis Islam Tertinggi di
Indonesia ) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.
Masa pemerintahan
Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang
menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :
a.
Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi
zaman Belanda, yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.
b.
Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia ) menggantikan MIAI yang dibubarkan
pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan
Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum
muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
c.
Hizbullah, ( Partai Allah atau Angkatan Allah ) semacam organisasi militer
untuk pemuda-pemuda muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi
inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
3. Fase Setelah Kemerdekaan
1) Departemen
Agama
Sebagaimana telah disebutkan, sejak awal kebangkitan
nasional, posisi agama sudah mulai dibicarakan kaitannya dengan politik atau
Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan
tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, Negara Indonesia merdeka hendaknya
merupakan sebuah Negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan
persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh
Mustafa Kamal. Golongan lainnya berpendapat, Negara Indonesia merdeka adalah
“Negara Islam”. Kedua pendapat itu terlihat misalnya, sebelum kemerdekaan, dalam polemic
antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan M. Natsir di akhir tahun
1930-an dan awal 1940-an; diskusi dan perdebatan di dalam siding-sidang BPUPKI
yang menghasilkan Piagam Jakarta. Setelah kemerdekaan, persoalan itu juga
terangkat kembali di dalam siding-sidang konstituante hasil pemilihan umum 1955
M yang berakhir dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali
kepada UUD 1945.[7]
Meskipun persoalan itu belum selesai dipecahkan,
tampaknya para pemimpin bangsa Indonesia sudah bergerak jauh ke depan,
memikirkan alternative “jalan tengah” dari dua [endapat tersebut. Mereka
menganjurkan suatu Negara yang mempunyai dasar keagamaan secara umum dan
pemerintahan engakui nilai keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan
kegiatan keagamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama didirikan.
Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada
tahun 1967 adalah sebagai berikut :[8]
1.
mengurus serta mengatur pendidikan agama
di sekolah-sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan agama
2.
mengikuti dan memperhatikan hal yang
bersangkutan dengan agama dan keagamaan
3.
member penerangan dan penyuluhan agama
4.
mengurus dan mengatur peradilan agama
serta mengelesaikan masalah yang berhubungan dengan hokum agama
5.
mengurus dan memperkembangan IAIN,
perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi
pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi
6.
mengatur, mengurus, dan mengawasi
penyelenggaraan ibadah haji.
2) Pendidikan
Sebagaimana
telah disebutkan, salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama
adalah menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa bentuk pendidikan
Islam zaman penjajahan Belanda. Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di
Indonesia adalah pesantren yang tersebar di berbagai pelosok. Tidak ada
hubungan antara satu dengan yang lain. Lembaga ini dipimpin oleh seseorang
ulama atau kiai. Untuk tingkat kelanjutan, tidak ada kurikulum yang jelas pada
lembaga ini. Kemajuan seorang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan,
kesungguhan, dan ketekunan masing-masing.
Setelah merdeka, terutama setelah
berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat
perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan
Desember 1945 menganjutkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga
mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah. Departemen Agama dengan
segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan
agama Islam dan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru Agama, dan mengwasi
pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru
agama, 45 orang diantaranya kemudian diangkat sekolah guru dan hakim Islam di
Solo.[9]
3)
Hukum Islam
Salah saatu lembaga Islam yang
sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah hokum atau
syariat. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hokum
muamalat bersifat peribadi. Hokum muamalat pun terbatas pada masalah nikah,
cerai, rujuk; hokum waris itu.
(paraid/manicure faraidh, wakaf hibah dan baitul mal.[10]
Keberadaan
lembaga keadilanagama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa
colonial belanda. Pada masa pendudukan adalah kelanjutan dari masa colonial
Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, pengadilan agama tidak mengalami
perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah,tetapi
administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam tampak keta dan
kaku, karena hanya berpegang pada ahab Syafi’i. Sementara itu, belum ada kitab
undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan
pengadilan Agama didominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah, sekolah
Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syariah di
perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan.
4)
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Disamping Departemen Agama, cara
lain pemerintah Indonesia dalam menyelnggarakan administrasi Islam ialah
mendirikan Majelis Ulama. Suatu prigram pemerintah, apalagi yang berkenan
dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama. Karena
itu, kerja sa,a antara pemerintah da ulama perlu terjalin dengan baik. Pertama
kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini
pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjamin
keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1958 diketuai oleh seorang
panglima Militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII tahun
1961, Majelis Ulama ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan di luar persoalan
keamanan, seperti dakwah dan pendidikan.[11]
Dalam pedoman Dasar Majelis Ulama
Indonesia yang disahkan dalam kongres tersebut,, Majelis Ulama berfungsi :
1.
memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatn kepada
pemerintahan dan umat Islam umumnya sebagau amar
ma’ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2. mempererat ukhuwah islamiyah dan memelihara
serta meningkatkan suasana kerukunan antarumat beragama dalam mewujudkan
persatuan dan kesatuan bangsa.
3. mewakili umat Islam dalam konsultasai
antarumat beragama.
4. penghubung antara ulama dan umara
(pemerintahan) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintahan dan
umat guna menyukseskan pembangunan nasional.
[1]
Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1991), hlm. 110.
[2]
Baca A.C Milner, “Islam dan
Negara Muslim”, dalam Azyumardi Azra (Ed.) , Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989)
[3]
Taufik Abdullah, op.cit., hlm. 111.
[4] Harry J. Benda, The Crescent and the Rishing Sun: Indonesian
Islam under Javanese Occupation 1942-1980, Terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980), hlm. 33.
[5] Thohir Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam : Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politikm dan Budaya Umat Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 304.
[6] B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta:
Grafitipers, 1985), hlm. 16.
[7] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), hlm. 306.
[8] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 36-37.
[9] Ibid, hlm. 59.
[10] Ibid, hlm. 84.
[11] Ibid, hlm. 125-126.
Tolong berikan komentar yang baik dan sopan serta jangan SPAM!