PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makalah ini dibuat untuk memaparkan mengenai peran
perempuan Melayu Riau dalam kebudayaan
Melayu Riau dimana peranan ini sangat berpartisipasi
dalam pembangunan bangsa dan negara umumnya, dan kebudayaan daerah Riau
khususnya.
Perempuan Melayu Riau telah memberikan kesan
mendalam terhadap kebudayaan daerahnya,tapi perannya belum banyak diketahui.
Oleh karena itu penulis terdorong untuk mempelajari peran perempuan Melayu
Riau,yang telah berperan dalam kebudayaan Melayu Riau.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa
rumusan masalah, yaitu: Apakah
peranan perempuan melayu Riau?
C.
Tujuan
Makalah ini dibuat dengan
tujuan untuk mengetahui peranan
perempuan muslim Riau.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Melayu Riau
Kebudayaan Melayu Riau dipengaruhi oleh
kebudayaan animisme dan Hinduisme. Setelah masuknya agama Islam, corak
kebudayaan Melayu Riau mengalami perubahan. Nilai Islam dipandang sebagai tolok
ukur dan berperan dalam menyaring nilai-nilai lain, karena nilai-nilai Islam
dipandang lebih tinggi daripada nilai-nilai lain (Ahmad, 1985: 6). Menurut
wilayahnya, kebudayaan Melayu Riau dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Riau
Daratan yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, dan Riau Kepulauan yang
berbatasan dengan Malaysia.
Kebudayaan dari daerah yang berbatasan dengan
Riau sedikit banyak telah mempengaruhi kebudayaan Riau, sehingga kebudayaan
Melayu Riau beragam. Keragaman kebudayaan ini disebabkan terutama oleh hubungan manusia dengan Khalik, hubungan manusia dengan penguasa, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam.
Keragaman kebudayaan Melayu diseragamkan oleh adanya unsur agama Islam.
Pengaruh agama Islam dalam kebudayaan Melayu memberikan corak khusus dan
menentukan perkembangan kebudayaan secara material maupun moral. [1]
B.
Peran Perempuan Melayu Riau dari Masa ke Masa
1)
Periode Sebelum Tahun 1945
Dang Merdu. Ia adalah tokoh perempuan Melayu Riau yang telah berhasil
mendidik anaknya menjadi seorang laksamana, yaitu Laksamana Hang Tuah. Hang Tuah
terkenal dengan perjuangannya di sekitar Selat Melaka, walaupun dia berasal
dari rakyat biasa.
Cik Puan. Pada masa pemerintahan Sultan Siak V,
yaitu Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784– 1810), Kerajaan
Siak terkenal mempunyai dua belas daerah jajahan, bahkan masih mengadakan
penyerangan ke Kerajaan Sambas di
Kalimantan Barat. Dalam penyerangan ini, peran Srikandi Siak yang bernama Cik
Puan juga besar (Lutfi, 1977: 253).
Tengku Agung. Tengku Agung adalah Permaisuri
Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim II. Perannya dalam memajukan kaumnya ialah
mendirikan sekolah perempuan yang bernama Latifah School, pada tahun 1926. Masa
pendidikan di sekolah itu ditempuh selama 3 tahun, dengan beberapa guru, yaitu
1) Halimah Batang Taris dari Pematang Siantar yang mengajar bahasa Belanda; 2)
Encik Saejah, istri Encik Muhayan dari Siak, mengajar jahit-menjahit; dan 3)
Zaidar dari Payakumbuh, mengajar masak-memasak (Jamil, 1985: 1).
Di samping sekolah umum, sekolah agama pun telah
maju, baik untuk kaum perempuan maupun untuk kaum laki-laki. Sekolah untuk kaum
perempuan bernama Madrasatun Nisak yang terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat
Ibtidaiyah, selama 5 tahun dan tingkat Tsanawiyah, selama 2 tahun.
Para guru sekolah agama tinggal di Istana Kesultanan Siak (Istana
Melintang) bersama dayang-dayang. Guru-guru tersebut antara lain Raudha, Misbah
Thaib, Fatimah, Rohana, Rohani, dan lainnya. Murid yang tamat dari Madrasatun
Nisak kemudian melanjutkan ke Kuliatul Mualimat Islamiah (KMI) di Padang
Panjang, karena Sultan Siak berhubungan baik dengan pemimpin Diniyah Putri
Padang Panjang. Sultan dan permaisuri selalu berkunjung ke sana, baik untuk
istirahat ke Bukittinggi maupun meninjau murid-murid dari Kerajaan Siak yang
mendapat beasiswa dari kerajaan, seperti Misbah Thaib, Tengku Aisyah, dan
lainnya.
Pelajaran dilaksanakan pada pagi hari, sedangkan
sore hari belajar di sekolah agama. Dengan demikian, mereka telah membina
perempuan-perempuan lain agar nantinya dapat membina keluarga dan anak-anaknya
menjadi manusia berguna.
Pada tahun 1926 pemerintah Belanda juga
mendirikan sekolah umum, seperti Volk School (Sekolah Desa) dan HIS.
2)
Periode Setelah Tahun 1945
Tengku Maharatu. Tengku Maharatu adalah
permaisuri Sultan Syarif Kasim II yang kedua, setelah permaisuri pertama,
Tengku Agung meninggal dunia. Dia melanjutkan perjuangan kakaknya dalam
meningkatkan kedudukan kaum perempuan di Siak dan sekitarnya, yaitu dengan
mengajarkan cara bertenun yang kemudian dikenal dengan nama tenun Siak. Tenun
Siak yang merupakan hasil karya kaum perempuan telah menjadi pakaian adat
Melayu Riau yang dipergunakan dalam pakaian adat pernikahan dan upacara
lainnya. Berkat perjuangan permaisuri pertama yang dilanjutkan oleh permaisuri
kedua, perempuan yang tamat dari sekolah Madrasatun Nisak dapat menjadi
mubalighat dan memberi dakwah, terutama kepada kaum perempuan.
Raja Khodijah binti Raja H. Usman. Ia adalah salah seorang tokoh
perempuan dari Kepulauan Riau yang berkecimpung dalam masyarakat sebagai
pemimpin organisasi, baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Dia Lahir
di Daik Lingga pada 21 Februari 1919. Pendidikannya adalah Inlandsche School (5
tahun) di Daik dan tamat tahun 1932. Pendidikan terakhir Kweek School Nieuwe
Stijl (Gaya Baru) di Tanjung pinang tahun 1950. Sejak tahun 1937, dia menjabat
sebagai pemimpin Aisyiyah, kemudian pada zaman Jepang ikut aktif dalam
organisasi wanita (Fujinkai).
Pada masa Agresi Belanda kedua, dia aktif dalam
organisasi BKIR (Badan Kebangsaan Indonesia Riau) dan KRIR (Kaimoyapan Rakyat
Indonesia Riau). Tahun 1951, ia mulai ikut berpolitik dan memasuki Partai
Islam. Tahun 1985, ia menjadi anggota DPRD Tk. II Kepulauan Riau mewakili
Partai Persatuan Pembangunan. Dari pendidikan dan kegiatan atau pengabdiannya,
dia telah mempunyai keinginan besar untuk memajukan perempuan Melayu Riau
seperti perempuan lainnya.
Syahawa H. B. Syahawa H. B. adalah seorang
perempuan Melayu Riau yang telah ikut berjuang untuk memajukan kaumnya di Riau.
Pendidikannya adalah HIS di Siak Sri Indrapura dan Kweek School di Bukit Tinggi
(Sekolah Pendidikan Guru). Pada zaman Jepang, dia dikirim ke Padang untuk
mengikuti kursus pertenunan.
Sampai tahun 1940 dapat dikatakan bahwa dia
adalah sedikit contoh di antara wanita terpelajar di Melayu. Selama di Siak dia
selalu mengadakan kegiatan bagi kaum perempuan, terutama jahit-menjahit dan
tenunan Siak. Pada tanggal 16 Juli 1945 dia menikah dengan Hasan Basri (Perwira
Peta). Pada tanggal 22 Oktober 1945 Hasan Basri diangkat sebagai pemimpin
TKR/TNI di Riau. Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, Syahawa
menjabat sebagai ketua organisasi ibu-ibu TNI yang bertugas memberikan
informasi pada masyarakat umum dan kaum ibu tentang makna dan tujuan
perjuangan, agar mendapat dukungan dari masyarakat dan sekaligus mengumpulkan
bahan makanan dan sumbangan untuk dikirim ke garis depan (Effendy dan Effendy,
t.t.: 41). Dia bekerja di dapur umum dengan Khadijah Ali, pemimpin Muslimat
Riau, Rajiah Rahim dari Palang Merah, dan Fatimah Soldir dari Putri Kesatria.
Pada tanggal 16 September 1949 Syahawa H. B.
disergap oleh Belanda (KNIL) saat dia bersembunyi di sekitar Siak Sri Indrapura
untuk menunggu kelahiran bayinya yang ketiga. Oleh karena pandai berbahasa
Belanda, maka dia dapat menghadap Perwira Distrik KNIL. Sejak itu dia menjadi
tawanan Belanda dan baru bebas setelah pemulihan kedaulatan RI.
Setelah Indonesia merdeka, dia bersama suaminya,
Letkol Hasan Basri, pindah ke Jakarta di awal tahun 1950. Di Jakarta Letkol
Hasan Basri mengundurkan diri dari dinas militer, sementara Syahawa H. B. aktif
di berbagai organisasi seperti Kerukunan Wanita Riau, Koperasi Wanita, dan
lain-lain. Syahawa H. B. sampai akhir hayatnya terkenal sebagai perias
pengantin Melayu Riau, khususnya pakaian adat Siak. Di rumahnya terdapat alat
tenun Siak tradisional yang masih dimanfaatkan sampai sekarang. Syahawa-Basri
pun pernah diundang ke Singapura dan Malaysia untuk merias pengantin dengan
adat Melayu Riau. Oleh karena mahir dan serasinya beliau menggunakan adat
Melayu Riau khususnya Melayu Siak, maka apabila ada pesta atau acara resmi
dengan menggunakan adat Melayu tanpa Syahawa H. B. rasanya kurang sempurnalah
adat Melayu Siak yang akan ditampilkan itu.
Hasan Basri dan Syahawa H. B. pernah diundang
oleh Gubernur Riau, Haji Imam Munandar, untuk mengisi acara kunjungan Presiden
Pakistan Zia Ul Haq ke anjungan Riau Taman Mini Indonesia Indah. Pada waktu
itu, Hasan Basri bersama istri sempat ditepungtawari oleh Presiden Pakistan dan
Presiden Suharto. Adapun kegiatan Syahawa H.B. yang terakhir ialah
mempersiapkan pakaian Melayu Riau dari tiap kabupaten seluruh Provinsi Riau atas
permintaan pengurus Sanggar Putih Melati Jakarta. Dalam penampilan pakaian
tersebut, Syahawa H. B. meninggal dunia, sehingga penampilan busana Riau baru
dapat disiarkan TVRI pada tanggal 18 November 1985 dalam Berita Nasional pukul
19.00 WIB. Kini Syahawa H. B. telah tiada. Dia sangat dikenal masyarakat
Jakarta, khususnya daerah Menteng, karena selalu mempopulerkan adat-istiadat
Melayu Riau, khususnya Melayu Siak Sri Indrapura.
Khadijah Ali. Beliau adalah seorang tokoh pemuka
masyarakat yang berasal dari Pekanbaru. Dia lahir di Pekanbaru, pada tanggal 25
Oktober 1925. Pendidikan terakhir adalah Diniyah Putri tahun 1938 di Padang
Panjang. Tahun 1944 (zaman Jepang) dia bekerja di bidang organisasi wanita
(Fujinkai) bagian Hahanokai (penerangan). Kegiatan pada zaman Jepang
adalah jahit-menjahit dan belajar memasak. Tahun 1946–1947, dia menjabat
sebagai Ketua Panitia Pemberantasan Buta Huruf (membaca menulis) atas nama
organisasi Aisyiah. Oleh karena aktivitasnya ini, ia mendapat surat penghargaan
dari Menteri Pengajaran dan Pendidikan Mr. Ali Sastroamijoyo. Beliau pernah
menjadi Ketua Kursus Pendidikan Umum Bahagian Atas (KPUA) selama 3 bulan dengan
mata pelajaran jahit-menjahit, masak memasak, dan pengetahuan umum. Khadijah Ali merupakan tokoh perempuan
Melayu Riau, namun tetap menjalankan fungsi sebagai istri, ibu rumah tangga,
dan pemuka masyarakat yang telah berperan aktif di bidang pendidikan formal dan
nonformal. Ia juga aktif di bidang pemerintahan, karena posisinya sebagai
penasihat ahli di kantor BP4 sejak tahun 1963.
Fatimah binti Suhil. Beliau adalah seorang perempuan Melayu Riau yang
telah mendapat pendidikan Kuliatul Mualimat lslamiah di Padang Panjang. Dia
lahir di Bagan Siapi-api pada tanggal 11 November 1925. Pendidikan Kuliatul
Mualimat Islamiah tidak diselesaikan karena pada tahun 1943, ia harus kembali
ke Siak Sri Indrapura karena Jepang memasuki Singapura, sehingga tidak
memungkinkan untuk menyelesaikan pendidikannya. Di Siak ia aktif di redaksi
Riau Koho (surat kabar Jepang) yang beranggotakan Fatimah, Rohani, Misbah Taib,
dan lain-lain. Tahun 1944–1946 menjadi anggota Palang Merah bersama Rohani,
Misbah Thaib, dan lainnya dengan tugas memberi makan pasukan gerilya, menjahit
pakaian dan alat perlengkapan tentara lainnya yang didatangkan dari Singapura.
Kegiatan lain yang berhubungan dengan agama ialah memberi wirid pengajian
kepada kaum ibu dan Barzanzi marhaban yang merupakan kegiatan kaum perempuan
yang dilaksanakan pada waktu upacara pesta pernikahan, khitan, dan waktu
mencukur rambut bayi saat berumur 40 hari (Aziz, 1976: 29). [2]
3)
Sebelum Tahun 1950
Kebudayaan Melayu Riau diwarnai oleh unsur-unsur Islam. Oleh karena itu
tingkah-laku masyarakat Melayu selalu berpedoman pada norma-norma Islam,
terutama kaum perempuannya. Dalam hadist disebutkan bahwa “Wanita adalah tiang
agama. Apabila ia baik, maka negara akan baik. Dan apabila ia rusak, maka
negara akan rusak”. Hadist tersebut hendaknya selalu dijadikan pedoman setiap
insan agar setiap perempuan menjadi pedoman dalam segala tindak-tanduk untuk
mencapai suatu negara yang baik.
Pada tahun 1950-an peran perempuan pada umumnya masih banyak berkisar
dalam urusan keluarga atau rumah tangga, karena adat masih mengikat perempuan,
sehingga dapat dikatakan perempuan Melayu Riau pada periode sebelum 1950 lebih
berperan dalam keluarga. Namun perannya dalam masyarakat juga sudah ada,
walaupun belum menonjol. [3]
4)
Peran Perempuan Melayu Riau Tahun 1950–1985
Peran perempuan Melayu Riau sejak tahun 1950
sangat bervariasi, mulai sebagai istri, ibu rumah tangga, pemuka masyarakat,
hingga pegawai negeri. Secara umum, peran tersebut meliputi berbagai bidang,
antara lain bidang; (a) pendidikan, (b) masyarakat.
Bidang Pendidikan. Pendidikan formal dari taman
kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas sudah merata sejak tahun 1950,
sedangkan pendidikan tinggi baru berkembang di tahun 1966 dengan jumlah sarjana
yang masih terbatas. Peran perempuan Melayu Riau meningkat sejalan dengan
berkembangnya sektor pendidikan, baik sebagai guru, pemimpin organisasi, maupun
sebagai pengusaha. Biasanya semakin tinggi pendidikan, semakin mantap pula
perhatian perempuan terhadap keluarga dalam mencetak manusia-manusia cerdas dan
terampil. Tokoh-tokoh perempuan
Melayu Riau yang penulis hubungi sebagian besar berperan sebagai guru, baik
guru sekolah umum maupun sekolah agama, serta sebagai da‘i.
Dalam pendidikan nonformal, kegiatan kaum perempuan
berbentuk kursus-kursus, antara lain Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
yang merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga,
kursus masalah gizi, kursus masalah Keluarga Berencana (KB), kursus menjahit,
kursus memasak, dan sebagainya.
Kursus-kursus itu biasanya dilaksanakan tiga kali
seminggu. Hasil keterampilan itu sangat berguna bagi ibu-ibu rumah tangga atau
para remaja perempuan sebagai modal dasar untuk membina rumah tangga yang
sejahtera.
Bidang Masyarakat (Organisasi). Beberapa
perempuan Melayu Riau berperan aktif dalam organisasi kemasyarakatan seperti
Organisasi Sosial Aisyiyah di Pekanbaru yang dipimpin oleh Khadijah Ali dan
Organisasi Aljamiatul Washliyah yang dipimpin oleh Hj. Faridah. Kegiatan mereka
lebih banyak dalam bidang agama dengan memberi dakwah, memimpin wirid Yasin,
Barzanzi, dan marhaban yang disertai dengan kumpulan “Rebana”. Kegiatan
perempuan Melayu Riau yang banyak pada saat ini adalah Barzanzi dan marhaban
yang boleh dikatakan sebagai salah satu identitas kebudayaan Melayu Riau.
Keanggotaan dan kepemimpinan perempuan dalam kegiatan ini telah mengalami
perkembangan.
Selanjutnya peran perempuan Melayu Riau telah
meningkat dengan adanya anggota DPRD perempuan, seperti R. Hatijah dari
Tanjungpinang; Khadijah Ali, Maimanah Umar, dan lainnya dari Pekanbaru. Adapun
Fatimah binti Suhil duduk di organisasi wanita Al Hidayah di bawah naungan
Golkar. Hal ini berarti bahwa tugas kaum perempuan Melayu sekarang telah
bertambah, yakni di samping sebagai istri pendamping suami, sebagai istri
pembina rumah tangga sejahtera, juga sebagai anggota masyarakat dan pemimpin
organisasi masyarakat. Sebagian besar perempuan Melayu juga telah bekerja dalam
lembaga pemerintah maupun swasta. Dalam berbagai bidang, peran perempuan sudah
mulai mengimbangi laki-laki. Kaum perempuan dituntut seperti yang ditetapkan
dalam Panca Dharma Wanita berikut, yakni (a) wanita sebagai pendamping suami
yang setia; (b) wanita sebagai penerus keturunan bangsa; (c) wanita sebagai
pendidik dan pendamping anak; (d) wanita sebagai pengatur rumah tangga; (e)
wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna.
Berdasarkan isi Panca Dharma Wanita, tampak peran
ganda perempuan untuk membaktikan diri dalam rumah tangga, bangsa, dan negara,
demi tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945.
C.
Peranan perempuan melayu riau
1)
Peran Perempuan Melayu dalam Keluarga
Peran perempuan Melayu Riau dalam keluarga
selanjutnya diuraikan sebagai berikut.
Sebagai istri. Pada masyarakat melayu
seorang perempuan tidak begitu bebas seperti lelaki, dalam pengertian dia tidak
sering keluar rumah, tetapi lebih banyak menhabiskan waktunya menjalankan
pekerjaan di lingkungan rumah tangga. Apabila telah berumah tangga dia
bertindak sebagai
ibu rumah tangga atau pengurus keluarga yang baru dibentuk. Ini sesuai dengan
panggilan “orang rumah” yang diberikan suami pada isteri.[4]
Sebagai Ibu. Ibu
adalah tumpuan dalam rumah tangga. Begitu besar dan pentingnya peran ibu. Nabi
Muhammad saw. bersabda “Surga terletak di bawah telapak kaki ibu”. Hadis ini
mengingatkan agar setiap orang menghormati kedua orang tuanya. Di samping itu,
kaum laki-laki harus pandai menjaga “surga” tersebut. Apabila kaum laki-laki
dan kaum perempuan sama-sama menjaganya, maka keselamatan hidup di dunia dan
akhirat akan terjamin.
Selanjutnya timbul pertanyaan, “Siapakah yang
diutamakan dalam berbakti terhadap kedua orang tua kita?” Rasulullah Muhammad
saw. menjawab, “Ibumu, sesudah itu ayah” (Hamka, 1973: 41). Hadis itu
menekankan besarnya peran perempuan sebagai seorang ibu dari anak-anak yang
membutuhkan pembinaan dan kasih sayang. Suasana rumah tangga yang tenang dan
bahagia merupakan modal yang baik dalam pembentukan pribadi anak. Hal yang
dapat dilakukan perempuan dalam pembentukan pribadi anak antara lain pertama,
dengan menyanyikan lagu untuk anak yang berumur 2 tahun, saat anak tersebut
akan tidur. Nyanyian lagu yang dipilih adalah yang mengandung makna pendidikan,
seperti lagu salawat Nabi dan mengagungkan nama Allah. Dengan begitu, perempuan
telah mengajarkan agama, sehingga anak dapat mengenal kata-kata Laa
ilaahaillallah, Muhammadurrasulullah, dan kata lain yang bernafaskan
agama.
Kedua, dengan bercerita, ketika anak berumur 3–10
tahun. Dalam hal ini orang tua (nenek, makcik, dan sebagainya) harus sering
bercerita saat anak atau cucunya hendak tidur. Cerita yang disajikan misalnya
cerita Anak Durhaka, Si Miskin, Anak Yang Sombong, Kancil Yang Cerdik, Batu
Belah Batu Bertangkup, dan sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan.
Secara tidak langsung cerita ini dapat membentuk sikap dan watak anak, sehingga
anak dapat membedakan hal baik dan buruk, hal yang berdosa dan hal yang
berpahala. Diharapkan nilai-nilai positif yang terkandung dalam cerita itu akan
menjadi pedoman bagi anak.
Ketiga, dengan membawa anak-anak salat berjamaah,
setidak-tidaknya waktu maghrib, karena hal ini akan membiasakan anak melakukan
ibadah. Keempat, menyekolahkan anak, minimal sekolah di daerahnya (sekolah
agama dan sekolah umum), dan jika mampu disekolahkan ke jenjang yang lebih
tinggi. Dengan demikian ibu telah membentuk moral, sikap, dan memberi “ajar”
untuk memelihara nilai-nilai sejak dini, serta telah mengawali proses
sosialisasi dalam mengenal dan memelihara kebudayaan. Peran ibu dalam keluarga
sangat besar dalam membina masa depan anak.
2)
Peran Perempuan Melayu dalam Masyarakat
Pengetahuan perempuan tentang lingkungan
hidup yang rendah akan berpengaruh terhadap partisipasi perempuan terhadap
lingkungan. Selain pengetahuan perempuan yang rendah kebijakan-kebijakan
mengenai lingkungan hidup, cenderung kurang berpihak dan tidak melibatkan
perempuan. Hal ini menjadi kendala bagi kaum perempuan untuk meningkatkan
potensi dirinya. Kaum perempuan yang berpotensi akan menjadi termarginal di
lingkungan keilmuan yang dimilikinya.[5]
3)
Ada\ Pernikahan
Dalam adat pernikahan, perempuan Melayu Riau
berperan antara lain sebagai: penghias, mak Andam, penenun kain.
Penghias. Perempuan Melayu berperan sebagai
penghias tepak, yaitu mengukir atau membentuk daun sirih. Tepak (tempat sirih,
pinang, kapur, gambir, dan tembakau) merupakan inti dari segala kegiatan. Tanpa
tepak, upacara pernikahan dianggap tidak beradat. Sebelum dipersembahkan, tepak
harus dihias dengan membentuk daun sirih dan pinang dengan ukiran tertentu.
Bagian luar/tutup tepak dihias dengan kain tenun Siak berbentuk bunga sesuai
dengan bunga yang terdapat dalam seni hias tenun Siak. Fungsi tepak adalah sebagai
pembuka kata dalam pertemuan adat. Selanjutnya beberapa tangkai sirih yang
telah diukir dibawa oleh pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan.
Beberapa tangkai sirih yang telah diukir disebut “bunga genggam” atau “bunga
lelat”.
Selain menghias tepak, perempuan Melayu juga
berperan mengukir kertas bunga atau ulur-ulur atau bendera hias pada tabak atau
kepuk. Menurut upacara adat daerah Bengkalis, tabak atau kepuk merupakan tempat
nasi kunyit dan telur yang diletakkan di hadapan pelamin. Tabak berwarna merah
dan terdiri dari beberapa tingkat sesuai stratifikasi sosial masyarakat di
Riau, khususnya yang berada di bawah naungan Kerajaan Siak. Jika keturunan
raja, tabak terdiri dari tujuh tingkat; keturunan tengku atau bangsawan,
terdiri dari lima tingkat; dan orang kebanyakan terdiri dari tiga tingkat. Nasi
kunyit dan telur juga berfungsi dalam upacara Khatam Al Quran yang dilengkapi
dengan Barzanzi dan marhaban.
Mak Andam. Peran Mak Andam selain mengandam dan
merias pengantin juga sebagai penjaga pintu masuk rumah pengantin perempuan.
Sebelum pemimpin rombongan pengantin laki-laki membayar pajak untuk melewati
pintu rumah pengantin perempuan, pintunya akan ditutup oleh Mak Andam dan
kawan-kawannya dengan kain panjang. Apabila pajak telah dibayar dan lolos dalam
membalas pantun, pintu akan terbuka dan pengantin laki-laki masuk, kemudian
duduk di singgasana. Setelah bersanding, tugas Mak Andam ialah memutar-mutar
“bunga genggam” atau “bunga lelat” yang dibawa oleh pengantin laki-laki di atas
kepala kedua pengantin sebanyak tujuh kali, lalu “bunga/sirih lelat” tersebut
diletakkan di tengah gerai atau tangga pelamin sebagai lambang penyataan cinta
kasih antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Tanpa Mak Andam,
adat-istiadat pernikahan tidak dapat dilaksanakan, walaupun pernikahan itu sah
melalui kadhi. Pernikahan baru resmi disebut beradat apabila tata-cara adat
diikuti seperti yang telah diatur oleh Mak Andam.
Penenun Kain Tenun Siak. Kain tenun Siak adalah
hasil teknologi tradisional yang diusahakan oleh perempuan Melayu Riau,
khususnya di daerah Siak Sri Indrapura. Kain tenun Siak merupakan salah satu identitas hasil kebudayaan Melayu
Riau. Kain tenun Siak yang diperuntukkan bagi perempuan berupa kain dan baju
kurung, sedangkan bagi laki-laki berupa teluk belanga dan kain sarung. Setiap
orang dapat memilikinya sesuai dengan kemampuannya. Pada waktu Kesultanan Siak
masih berkuasa, tenun Siak yang berwarna kuning hanya boleh dipakai oleh
keturunan raja. Seni hias/gambar pada kain tenun berupa pucuk rebung, tampuk
manggis, bunga melati, daun paku gajah, dan sebagainya.
Dari beberapa contoh yang penulis kemukakan terbukti bahwa perempuan
Melayu Riau telah berperan dalam melestarikan kebudayaan daerah Riau khususnya,
dan Indonesia pada umumnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Peran perempuan Melayu Riau sebelum tahun 1950
lebih banyak dalam keluarga, baik sebagai istri, ibu, maupun berwiraswasta
(home industry). Walaupun demikian, perempuan Melayu Riau tetap ikut berjuang
seperti, Cik Puan yang telah ikut berjuang pada masa pemerintahan Sultan Siak
V, Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784– 1810) dalam usaha
pengembangan wilayah kekuasaan Kerajaan Siak.
Beberapa perempuan Melayu Riau telah memajukan
pendidikan di awal abad ke-20 dengan berjuang melalui peningkatan pendidikan
formal dan nonformal kaum perempuan. Kaum perempuan Melayu Riau juga telah
memajukan bidang kesenian, meliputi seni suara, seperti Barzanzi dan marhaban.
Seni menghias dan mengukir alatalat perlengkapan pernikahan yang bernafaskan
Kemelayuan Riau, seperti membuat kain tenun Siak, juga dilakukan perempuan.
Peran perempuan Melayu Riau meningkat sesuai
dengan perkembangan zaman, terutama sesudah tahun 1950. Sebagian besar
perempuan Melayu Riau bekerja di jawatan pemerintah, bahkan telah duduk menjadi
anggota DPRD. Dengan demikian mereka telah menunjukkan kemampuan kaum perempuan
Melayu Riau dalam berjuang mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Berdasarkan observasi, wawancara, dan pembahasan,
penulis menyarankan beberapa hal berikut, yakni (a) upacara adat seni Melayu
yang bernafaskan agama Islam sebaiknya dilestarikan, karena agama Islam
merupakan salah satu ciri kebudayaan Melayu; (b) tepak dan kepuk perlu
dibudayakan kembali, karena tepak dan kepuk yang terletak pada bagian tertentu
dari tingkatan tabak merupakan lambang kemakmuran dan kesuburan; (c) pembuatan
kain tenun Siak sebagai salah satu unsur teknologi tradisional Melayu Riau yang
dapat dijadikan atraksi pariwisata perlu dilestarikan. Pembuatan kain tenun
Siak merupakan salah satu kegiatan yang dapat menambah penghasilan rumah tangga
masyarakat Melayu Riau.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.2007.Masyarakat Melayu dan
Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan
Budaya Melayu
Husni thamrin dan Koko iskandar.2008. Orang Melayu.Pekanbaru:UIN
SUSKA PRES
Irwan effendi.2008.Perempuan Riau bicara. Pekanbaru
WWW.Peran
Perempuan Melayu Riau : Dulu dan Kini | Melayu Online
[1] Koentjaraningrat.
Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. (Yogyakarta: Balai
Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2007), Hal. 259
Tolong berikan komentar yang baik dan sopan serta jangan SPAM!